Anre Gurutta H. Muhammad As'ad (1906
– 1952)
Beliau adalah Anre Gurutta (AG) H.
M. As’ad. Dalam masyarakat Bugis dahulu beliau digelar Anre Gurutta Puang Aji
Sade’). Beliau merupakan Mahaguru dari Gurutta Ambo Dalle (1900 - 1996), adalah
putra Bugis, yang lahir di Mekkah pada hari Senin 12 Rabi’ul Akhir 1326 H/1907
M dari pasangan Syekh H. Abd. Rasyid, seorang ulama asal Bugis yang bermukim di
Makkah al-Mukarramah, dengan Hj. St. Saleha binti H. Abd. Rahman yang bergelar
Guru Terru al-Bugisiy.
Pada akhir tahun 1347 H/1928 M, dalam usia sekitar 21 tahun.
AG H. M. As’ad merasa terpanggil untuk pulang ke tanah leluhur, tanah Bugis,
guna menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk tanah Wajo
khususnya, dan Sulawesi pada umumnya. Beliau berbekal ilmu pengetahuan agama
yang mendalam dan gelora panggilan ilahi, disertai semangat perjuangan yang
selalu membara. Pada waktu itu, memang berbagai macam bid’ah dan khurafat masih
mewarnai pengamalan agama Islam, oleh karena kurangnya pendidikan dan da’wah
Islamiyah kepada mereka. Langkah pertama yang dilakukan beliau setelah tiba di
kota Sengkang adalah mulai mengadakan pengajian khalaqah di rumah kediamannya.
Di samping itu beliau mengadakan da’wah Islamiyah di mana-mana, serta
membongkar tempat-tempat penyembahan dan berhala-berhala yang ada disekitar
kota Sengkang. Pada tahun pertama gerakan beliau, bersama dengan santri-santri
yang berdatangan dari daerah Wajo serta daerah-daerah lainnya, beliau berhasil
membongkar lebih kurang 200 tempat penyembahan dan berhala.
Pada tahun 1348 H/1929 M, Petta Arung Matoa Wajo, Andi
Oddang, meminta nasehat Anre Gurutta H. M. As’ad tentang pembangunan kembali
masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak di tengah-tengah
kota Sengkang pada waktu itu. Setelah mengadakan permusyawaratan dengan
beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu : (!) AG H. M. As’ad, (2) H. Donggala,
(3) La Baderu, (4) La Tajang, (5) Asten Pensiun, dan (6) Guru Maudu, maka
dicapailah kesepakatan bahwa mesjid yang sudah tua itu perlu dibangun kembali.
Pembangunan kembali masjid itu dimulai pada bulan Rabiul Awal 1348 H/1929 M,
dan selesai pada bulan Rabiul Awal 1349/1930 M.
Setelah selesai pembangunannya, maka Masjid Jami itu
diserahkan oleh Petta Arung Matoa Wajo Andi Oddang kepada AG H. M. As’ad untuk
digunakan sebagai tempat pengajian, pendidikan, dan da’wah Islam. Sejak itulah
beliau mendirikan madrasah di Mesjid Jami’ itu, dan diberi nama al-Madrasah
al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo.
Tingkatan-tingkatan yang beliau bina pada waktu itu adalah:
1. Tahdiriyah, 3 tahun
2. Ibtidaiyah, 4 tahun
3. Tsanawiyah, 3 tahun
4. I’dadiyah, 1 tahun
5. Aliyah, 3 tahun
Semua kegiatan persekolahan ini
dipimpin langsung oleh AG H. M. As’ad, dibantu oleh dua orang ulama besar,
yaitu Sayid Abdullah Dahlan garut, ex. Mufti Besar Madinah al-Munawwarah, dan
Syekh Abdul Jawad Bone. Beliau juga dibantu oleh murid-murid senior beliau
seperti AG H. Daud Ismali, dan almarhum AG H. Abd. Rahman Ambo Dalle.
Pengajian khalaqah (pesantren) yang
diadakan setiap ba’da shalat Subuh, ba’da shalat Ashar, dan ba’da shalat
Magrib, yang semula diadakan di rumah beliau, dipindahkan kegiatannya ke Mesjid
Jami Sengkang. Pesantren dan Madrasah yang didirikan dan dibina oleh beliau
itulah yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren As’adiyah sekarang.
Selain Pesantren dan Madrasah
tersebut di atas, AG H. M. As’ad juga membuka suatu lembaga pendidikan yang
baru, yaitu Tahfizul Qur’an, yang dipimpin langsung oleh beliau, dan bertempat
di Masjid Jami Sengkang. Pada tahun 1350 H/1931 M. atas prakarsa Andi Cella
Petta Patolae (Petta Ennengnge), dengan dukungan tokoh-tokoh masyarakat Wajo,
dibangunlah gedung berlantai dua di samping belakang Masjid Jami Sengkang.
Bangunan itu diperuntukkah bagi kegiatan al-Madrasah al-Arabiyyah al-Islamiyyah
(MAI) Wajo, karena santrinya semakin bertambah.
AG H. M. As’ad berpulang ke
rahmatullah pada hari Senin 12 Rabiul Akhir 1372 H/29 Desember 1952 M. dalam
usia 45 tahun. Sesuai dengan wasiat beliau beberapa saat sebelum wafat,
peninggalan beliau berupa Madrasah dan pesantren kemudian dilanjutkan
pembinaannya oleh dua murid senior beliau; AG H. Daud Ismail, dan AG H. M.
Yunus Martan. Pada tanggal 13 Agustus 1999, berdasarkan Undang-undang No. 6
Tahun 1959, dan Keppres RI No. 076/TK/Tahun 1999, Presiden RI telah menganugerahkan
tanda kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepada AG H. M. As’ad, karena
jasa-jasa beliau yang luar biasa terhadapa negara dan bangsa Indonesia. Tanda
penghormatan itu diterima di Jakarta atas nama beliau oleh putra beliau, H.
Abd. Rahman As’ad.**
peninggaln beliau perlu ditingkatkan dan tidak merubah yang ditinggalkan anre gurutta utamanya nama pesantren itu
BalasHapus