Masa
Muda
Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie atau
dikenal sebagai BJ Habibie (76 tahun) merupakan pria Pare-Pare (Sulawesi
Selatan) kelahiran 25 Juni 1936.
Habibie menjadi Presiden ke-3 Indonesia selama
1.4 tahun dan 2 bulan menjadi Wakil Presiden RI ke-7. Habibie merupakan
“blaster” antara orang Jawa [ibunya] dengan orang Makasar/Pare-Pare [ayahnya].
Berbeda dengan rata-rata mahasiswa Indonesia yang mendapat
beasiswa di luar negeri, kuliah Habibie (terutama S-1 dan S-2) dibiayai langsung
oleh Ibunya yang melakukan usaha catering dan indekost di Bandung setelah
ditinggal pergi suaminya (ayah Habibie). Habibie mengeluti bidang Desain dan
Konstruksi Pesawat di Fakultas Teknik Mesin. Selama lima tahun studi di Jerman
akhirnya Habibie memperoleh gelar Dilpom-Ingenenieur atau diploma teknik (catatan
: diploma teknik di Jerman umumnya disetarakan dengan gelar Master/S2 di negara
lain) dengan predikat summa cum laude.
Pak Habibie melanjutkan program doktoral setelah menikahi teman
SMA-nya, Ibu Hasri Ainun Besari pada tahun 1962. Bersama dengan istrinya
tinggal di Jerman, Habibie harus bekerja untuk membiayai biaya kuliah sekaligus
biaya rumah tangganya. Habibie mendalami bidang Desain dan Konstruksi Pesawat
Terbang. Tahun 1965, Habibie menyelesaikan studi S-3 nya dan mendapat gelar
Doktor Ingenieur (Doktor Teknik) dengan indeks prestasi summa
cum laude.
Karir
di Industri
Selama menjadi mahasiswa tingkat doktoral, BJ Habibie sudah
mulai bekerja untuk menghidupi keluarganya dan biaya studinya. Setelah lulus,
BJ Habibie bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm atau MBB Hamburg
(1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis Struktrur
Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode dan Teknologi pada
industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB (1969-1973). Atas kinerja
dan kebriliannya, 4 tahun kemudian, ia dipercaya sebagai Vice
President sekaligus Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978
serta menjadi Penasihast Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978
). Dialah menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki
jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini.
Sebelum memasuki usia
40 tahun, karir Habibie sudah sangat cemerlang, terutama dalam desain dan
konstruksi pesawat terbang. Habibie menjadi “permata” di negeri Jerman dan
iapun mendapat “kedudukan terhormat”, baik secara materi maupun intelektualitas
oleh orang Jerman. Selama bekerja di MBB Jerman, Habibie menyumbang berbagai
hasil penelitian dan sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan dan teknologi
dibidang Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa rumusan teorinya
dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“, “Habibie
Theorem” dan “Habibie Method“.
Kembali
ke Indonesia
Pada tahun 1968, BJ Habibie telah mengundang sejumlah
insinyur untuk bekerja di industri pesawat terbang Jerman. Sekitar 40
insinyur Indonesia akhirnya dapat bekerja di MBB atas rekomendasi Pak Habibie.
Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan skill dan pengalaman (SDM) insinyur
Indonesia untuk suatu saat bisa kembali ke Indonesia dan membuat produk
industri dirgantara (dan kemudian maritim dan darat). Dan ketika (Alm) Presiden
Soeharto mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk menemui seraya membujuk Habibie
pulang ke Indonesia, BJ Habibie langsung bersedia dan melepaskan
jabatan, posisi dan prestise tinggi di Jerman. Hal ini dilakukan BJ Habibie
demi memberi sumbangsih ilmu dan teknologi pada bangsa ini. Pada 1974 di
usia 38 tahun, BJ Habibie pulang ke tanah air. Iapun diangkat menjadi
penasihat pemerintah (langsung dibawah Presiden) di bidang teknologi
pesawat terbang dan teknologi tinggi hingga tahun 1978. Meskipun demikian dari
tahun 1974-1978, Habibie masih sering pulang pergi ke Jerman karena masih
menjabat sebagai Vice Presiden dan Direktur Teknologi di MBB.
Habibie mulai
benar-benar fokus setelah ia melepaskan jabatan tingginya di Perusahaan Pesawat
Jerman MBB pada 1978. Dan sejak itu, dari tahun 1978 hingga 1997, ia
diangkat menjadiMenteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek)
sekaligus merangkap sebagai Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Disamping itu Habibie juga diangkat sebagai Ketua Dewan Riset Nasional dan
berbagai jabatan lainnya.
Ketika menjadi Menristek, Habibie
mengimplementasikan visinya yakni membawa Indonesia menjadi negara industri
berteknologi tinggi. Ia mendorong adanya lompatan dalam strategi pembangunan
yakni melompat dari agraris langsung menuju negara industri maju. Visinya yang
langsung membawa Indonesia menjadi negara Industri mendapat pertentangan dari
berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri yang menghendaki pembangunan
secara bertahap yang dimulai dari fokus investasi di bidang pertanian. Namun,
Habibie memiliki keyakinan kokoh akan visinya, dan ada satu “quote” yang
terkenal dari Habibie yakni :
“I have some figures which compare the cost of one kilo of airplane
compared to one kilo of rice. One kilo of airplane costs thirty thousand US
dollars and one kilo of rice is seven cents. And if you want to pay for your
one kilo of high-tech products with a kilo of rice, I don’t think we have
enough.” (Sumber : BBC: BJ Habibie Profile -1998.)
Kalimat diatas
merupakan senjata Habibie untuk berdebat dengan lawan
politiknya. Habibie ingin menjelaskan mengapa industri berteknologi itu sangat
penting. Dan ia membandingkan harga produk dari industri high-tech (teknologi
tinggi) dengan hasil pertanian. Ia menunjukkan data bahwa harga 1 kg pesawat
terbang adalah USD 30.000 dan 1 kg beras adalah 7 sen (USD 0,07). Artinya 1 kg
pesawat terbang hampir setara dengan 450 ton beras. Jadi dengan membuat 1 buah
pesawat dengan massa 10 ton, maka akan diperoleh beras 4,5 juta ton beras.
Pola pikir Pak Habibie disambut dengan baik oleh Pak Harto.Pres.
Soeharto pun bersedia menggangarkan dana ekstra dari APBN untuk pengembangan
proyek teknologi Habibie. Dan pada tahun 1989, Suharto memberikan “kekuasan”
lebih pada Habibie dengan memberikan kepercayaan Habibie untuk memimpin
industri-industri strategis seperti Pindad, PAL, dan PT IPTN.
Habibie
menjadi RI-1
Secara materi, Habibie sudah sangat mapan ketika ia bekerja di
perusahaan MBB Jerman. Selain mapan, Habibie memiliki jabatan yang sangat
strategis yakni Vice President sekaligus Senior
Advicer di perusahaan high-tech Jerman.
Sehingga Habibie terjun ke pemerintahan bukan karena mencari uang ataupun
kekuasaan semata, tapi lebih pada perasaan “terima kasih” kepada negara dan
bangsa Indonesia dan juga kepada kedua orang tuanya.
Sikap serupa pun ditunjukkan oleh Kwik Kian Gie,
yakni setelah menjadi orang kaya dan makmur dahulu,
lalu Kwik pensiun dari bisnisnya dan baru terjun ke dunia politik. Bukan
sebaliknya, yang banyak dilakukan oleh para politisi saat ini yang
menjadi politisi demi mencari kekayaan/popularitas sehingga tidak heran praktik
korupsi menjamur.
Tiga tahun setelah kepulangan ke Indonesia, Habibie (usia 41
tahun) mendapat gelar Profesor Teknik dari ITB. Selama 20 tahun menjadi
Menristek, akhirnya pada tanggal 11 Maret 1998, Habibie terpilih sebagai Wakil
Presiden RI ke-7 melalui Sidang Umum MPR. Di masa itulah krisis ekonomi
(krismon) melanda kawasan Asia termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terjun
bebas dari Rp 2.000 per dolar AS menjadi Rp 12.000-an per dolar. Utang luar
negeri jatuh tempo sehinga membengkak akibat depresiasi rupiah. Hal ini
diperbarah oleh perbankan swasta yang mengalami kesulitan likuiditas. Inflasi
meroket diatas 50%, dan pengangguran mulai terjadi dimana-mana.
Pada saat bersamaan, kebencian masyarakat memuncak dengan sistem
orde baru yang sarat Korupsi, Kolusi, Nepotisme yang dilakukan oleh kroni-kroni
Soeharto (pejabat, politisi, konglomerat). Selain KKN, pemerintahan Soeharto
tergolong otoriter, yang menangkap aktivis dan mahasiswa vokal.
Dipicu penembakan 4 orang mahasiswa (Tragedi Trisakti) pada
12 Mei 1998, meletuslah kemarahan masyarakat terutama kalangan aktivis dan
mahasiswa pada pemerintah Orba. Pergerakan mahasiswa, aktivis, dan segenap
masyarakat pada 12-14 Mei 1998 menjadi momentum pergantian rezim Orde Baru
pimpinan Pak Hato. Dan pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto terpaksa mundur dari
jabatan Presiden yang dipegangnya selama lebih kurang 32 tahun. Selama 32 tahun
itulah, pemerintahan otoriter dan sarat KKN tumbuh sumbur. Selama 32 tahun itu
pula, banyak kebenaran yang dibungkam. Mulai dari pergantian Pemerintah
Soekarno (dan pengasingan Pres Soekarno), G30S-PKI, Supersemar, hingga dugaan
konspirasi Soeharto dengan pihak Amerika dan sekutunya yang mengeruk sumber
kekayaan alam oleh kaum-kaum kapitalis dibawah bendera korpotokrasi (termasuk CIA,
Bank Duni, IMF dan konglomerasi).
Soeharto mundur, maka Wakilnya yakni BJ Habibie pun diangkat
menjadi Presiden RI ke-3 berdasarkan pasal 8 UUD 1945. Namun, masa jabatannya
sebagai presiden hanya bertahan selama 512 hari. Meski sangat singkat,
kepemimpinan Presiden Habibie mampu membawa bangsa Indonesia dari jurang
kehancuran akibat krisis. Presiden Habibie berhasil memimpin negara keluar dari
dalam keadaan ultra-krisis, melaksanankan transisi dari negara otorian menjadi
demokrasi. Sukses melaksanakan pemilu 1999 dengan multi parti (48 partai),
sukses membawa perubahan signifikn pada stabilitas, demokratisasi dan reformasi
di Indonesia.
Habibie merupakan presiden RI pertama yang menerima banyak
penghargaan terutama di bidang IPTEK baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Jasa-jasanya dalam bidang teknologi pesawat terbang mengantarkan beliau
mendapat gelar Doktor Kehormatan (Doctor of Honoris Causa) dari berbagaai Universitas terkemuka dunia,
antara lain Cranfield Institute of Technology dan Chungbuk University.
Catatan-Catatan Istimewa BJ Habibie
Habibie Bertemu
Soeharto
“Laksanakan saja tugasmu dengan baik, saya doakan agar Habibie
selalu dilindungi Allah SWT dalam melaksanakan tugas. Kita nanti bertemu secara
bathin saja“, lanjut Pak Harto menolak bertemu dengan Habibie pada pembicaraan
via telepon pada 9 Juni 1998.
(Habibie : Detik-Detik yang Menentukan. Halaman 293)
Salah satu pertanyaan umum dan masih banyak orang tidak
mengetahui adalah bagaimana Habibie yang tinggal di Pulau Celebes bisa bertemu
dan akrab dengan Soeharto yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Pulau
Jawa?
Pertemuan pertama kali Habibie dengan Soeharto terjadi pada
tahun 1950 ketika Habibie berumur 14 tahun. Pada saat itu, Soeharto (Letnan
Kolonel) datang ke Makasar dalam rangka memerangi pemberontakan/separatis di
Indonesia Timur pada masa pemerintah Soekarno. Letkol Soeharto tinggal
berseberangan dengan rumah keluarga Alwi Abdul Jalil Habibie. Karena ibunda
Habibie merupakan orang Jawa, maka Soeharto pun (orang Jawa) diterima sangat
baik oleh keluarga Habibie. Bahkan, Soeharto turut hadir ketika ayahanda
Habibie meninggal. Selain itu, Soeharto pun menjadi “mak comblang” pernikahan
adik Habibie dengan anak buah (prajurit) Letkol Soeharto. Kedekatan
Soeharto-Habibie terus berlanjut meskipun Soeharto telah kembali ke Pulau Jawa
setelah berhasil memberantas pemberontakan di Indonesia Timur.
Setelah Habibie menyelesaikan studi (sekitar 10 tahun) dan
bekerja selama hampir selama 9 tahun (total 19 tahun di Jerman), akhirnya
Habibie dipanggil pulang ke tanah air oleh Pak Harto. Meskipun ia tidak
mendapat beasiswa studi ke Jerman dari pemerintah, pak Habibie tetap bersedia pulang
untuk mengabdi kepada negara, terlebih permintaan tersebut berasal dari Pak
Harto yang notabene adalah ‘seorang guru’ bagi Habibie. Habibie pun memutuskan
kembali ke Indonesia untuk memberi ilmu kepada rakyat Indonesia, kembali untuk
membangun industri teknologi tinggi di nusantara.
Bersama Ibnu Sutowo, Habibie kembali ke Indonesia dan bertemu
dengan Presiden Soeharto pada tanggal 28 Januari 1974. Habibie mengusulkan
beberapa gagasan pembangunan seperti berikut:
·
Gagasan pembangunan
industri pesawat terbang nusantara sebagai ujung tombak industri strategis
·
Gagasan pembentukan
Pusat Penelitan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek)
·
Gagasan mengenai Badan
Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknologi (BPPT)
Gagasan-gagasan awal Habibie menjadi masukan
bagi Soeharto, dan mulai terwujud ketika Habibie menjabat sebagai Menristek
periode 1978-1998.
Namun, dimasa tuanya, hubungan Habibie-Soeharto tampaknya retak.
Hal ini dikarenakan berbagai kebijakan Habibie yang disinyalir “mempermalukan”
Pak Harto. Pemecatan Letjen (Purn) Prabowo Subianto dari jabatan Kostrad
karena memobilisasi pasukan kostrad menuju Jakarta (Istana dan Kuningan)
tanpa koordinasi atasan merupakan salah satu kebijakan yang ‘menyakitkan’ pak
Harto. Padahal Prabowo merupakan menantu kesayangan Pak Harto yang telah
dididik dan dibina menjadi penerus Soeharto. Pemeriksaan Tommy Soeharto sebagai
tersangka korupsi turut membuat Pak Harto ‘gerah’ dengan kebijakan pemerintahan
BJ Habibe, terlebih dalam beberapa kali kesempatan di media massa, BJ
Habibie memberi lampu hijau untuk memeriksa Pak Harto. Padahal Tommy
Soeharto merupakan putra “emas’ Pak Harto. Dan sekian banyak kebijakan
berlawanan dengan pemerintah Soeharto dibidang pers, politik, hukum hingga
pembebasan tanpa syarat tahanan politik Soeharto seperti Sri Bintang Pamungkas
dan Mukhtar Pakpahan.
Habibie : Bapak Teknologi
Indonesia*
Pemikiran-pemikiran
Habibie yang “high-tech” mendapat “hati” pak Harto. Bisa dikatakan bahwa
Soeharto mengagumi pemikiran Habibie, sehingga pemikirannya dengan mudah
disetujui pak Harto. Pak Harto pun setuju menganggarkan “dana ekstra” untuk
mengembangkan ide Habibie. Kemudahan akses serta kedekatan Soeharto-Habibie
dianggap oleh berbagai pihak sebagai bentuk kolusi Habibie-Soeharto. Apalagi, beberapa
pihak tidak setuju dengan pola pikir Habibie mengingat pemerintah Soeharto mau
menghabiskan dana yang besar untuk pengembangan industri-industri teknologi
tinggi seperti saran Habibie.
Tanggal
26 April 1976, Habibie mendirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan menjadi industri pesawat
terbang pertama di Kawasan Asia Tenggara (catatan : Nurtanio meruapakan
Bapak Perintis Industri Pesawat Indonesia). Industri Pesawat Terbang
Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat
Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985,
kemudian direkstrurisasi, menjadi Dirgantara Indonesia (PT DI) pada Agustuts
2000. Perlakuan istimewapun dialami oleh industri strategis lainnya seperti PT
PAL dan PT PINDAD.
sejak
pendirian industri-industri statregis negara, tiap tahun pemerintah Soeharto
menganggarkan dana APBN yang relatif besar untuk mengembangkan industri
teknologi tinggi. Dan anggaran dengan angka yang sangat besar dikeluarkan
sejak 1989 dimana Habibie memimpin industri-industri strategis. Namun, Habibie
memiliki alasan logis yakni untuk memulai industri berteknologi tinggi, tentu
membutuhkan investasi yang besar dengan jangka waktu yang lama. Hasilnya tidak
mungkin dirasakan langsung. Tanam
pohon durian saja butuh 10 tahun untuk memanen, apalagi industri teknologi
tinggi. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun industri strategis ala
Habibie masih belum menunjukan hasil dan akibatnya negara terus membiayai biaya
operasi industri-industri strategis yang cukup besar.
Industri-industri
strategis ala Habibie (IPTN, Pindad, PAL) pada akhirnya memberikan hasil
seperti pesawat terbang, helikopter, senjata, kemampuan pelatihan dan jasa
pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat, amunisi, kapal,
tank, panser, senapan kaliber, water canon, kendaraan RPP-M, kendaraan
combat dan masih banyak lagi baik untuk keperluan sipil maupun militer.
Untuk
skala internasional, BJ Habibie terlibat dalam berbagai proyek desain dan
konstruksi pesawat terbang seperti Fokker F 28, Transall C-130 (militer
transport), Hansa Jet 320 (jet eksekutif), Air Bus A-300, pesawat transport
DO-31 (pesawat dangn teknologi mendarat dan lepas landas secara vertikal),
CN-235, dan CN-250 (pesawat dengan teknologi fly-by-wire). Selain itu, Habibie
secara tidak langsung ikut terlibat dalam proyek perhitungan dan desain
Helikopter Jenis BO-105, pesawat tempur multi function, beberapa peluru kendali
dan satelit.
Karena pola pikirnya tersebut, maka saya menganggap
beliau sebagai bapak teknologi Indonesia, terlepaskan seberapa besar kesuksesan
industri strategis ala Habibie. Karena kita tahu bahwa pada tahun 1992, IMF
menginstruksikan kepada Soeharto agar tidak memberikan dana operasi kepada
IPTN, sehingga pada saat itu IPTN mulai memasuki kondisi kritis. Hal ini
dikarenakan rencana Habibie membuat satelit sendiri
(catatan : tahun 1970-an Indonesia merupakan negara terbesar ke-2 pemakaian
satelit), pesawat sendiri, serta peralatan militer sendiri. Hal ini
didukung dengan 40 0rang tenaga ahli Indonesia yang memiliki pengalaman kerja
di perusahaan pembuat satelit Hughes Amerika akan ditarik pulang ke Indonesia
untuk mengembangkan industri teknologi tinggi di Indonesia. Jika hal ini
terwujud, maka ini akan mengancam industri teknologi Amerika (mengurangi pangsa
pasar) sekaligus kekhawatiran kemampuan teknologi tinggi dan militer Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar