Rangga
adalah sahabatku sejak pertama kali masuk SMA. Kami bersekolah di SMA yang
sama. Sekarang aku dan Rangga kelas 3 SMA smester II. Setiap hari aku dan
Rangga pergi dan pulang sekolah selalu bersama. Ke kantin bersama, belajar
bersama, ke mana – mana kami selalu bersama,hingga saat yang tak pernah ku duga
terjadi.
“Sil,ku
tahu mungkin kau akan marah padaku setelah ku beritahukan hal ini. Tapi aku tak
dapat memendam terus perasaan yang membelenggu di hatiku ini. Maukah kau menjadi.....”.
tiiiitttt.. Handphoneku berdering keras sekali. “Tunggu sebentar ya” kataku
sambil tersenyum kepada Rangga. Rangga hanya mengagguk pelan. Aku mengangkat
telpon dari mamaku. Mama menyuruhku segera pulang. Ada hal penting yang mama
mau beritahukan kepadaku. Aku segera meminta Rangga mengantarku pulang. Rangga
hanya tersenyum menuruti pintaku. Walau ku tau mungkin dia sedang kesal karena
perkataannya tadi tak sampai. Aku tertawa dalam hatiku. Dipikiranku sekarang
hanya satu. “tumben mama menelponku pulang. Apa terjadi sesuatu? Biasanya aku
tak pernah ditelpon. Kalaupun ditelpon mungkin 1x dalam sebulan karena mama
sangat sibuk”.
Sampai
di rumah aku langsung masuk tanpa memperdulikan Rangga yang tersenyum padaku.
Aku berlari masuk rumah dan menemukan mama tengah duduk berlinang air mata
dengan memegang secarik kertas. Dengan rasa penasaran aku duduk di samping mama
dan berkata “Kenapa mama menangis. kertas apa itu ma?” tanyaku sambil mengambil
kertas itu dari tangan mama. Ku baca dengan saksama kalimat demi kalimat yang
tertulis di kertas itu hingga selesai. Tak terasa air mataku berlinang dan
kertas itu jatuh ke lantai. Mama yang tangisnya agak reda memelukku dan berkata
“sabarlah,Sil. Mama tahu kau bisa sembuh dengan pengobatan – pengobatan dokter.
Mama akan membawamu berobat ke luar negeri sayang” kata mama dalam isak
tangisnya. “Aku tak ingin ke luar negeri Ma. Aku ingin di sini” kataku pelan.
“Tapi kamu harus berobat sayang” kata mama lagi. “Di sini juga banyak dokter
yang bisa mengobatiku Ma. Aku tak perlu sampai berobat ke luar negeri. Aku
pasti juga bisa sembuh dengan berobat di sini Ma” kataku sambil tersenyum
kepada mama dan menghapus air matanya. “Jangan menangis mama. Silla pasti
sembuh”.
Aku
mengidap penyakit kanker otak. Aku memang pernah memeriksakan diriku ke dokter
bersama mama 2 minggu yang lalu sejak aku selalu pingsan di sekolah dan
merasakan sakit yang amat sangat sakit di kepalaku.
3
minggu kemudian. Hari – hari kini ku lalui seperti biasanya. Hanya yang berbeda
aku harus mengkomsumsi obat dan harus selalu memeriksakan keadaanku 3 kali
seminggu ke Rumah Sakit. Mungkinkah aku bisa sembuh? Haruskah aku
memberitahukan ini pada Rangga? Apakah dia akan menjauhiku setelah tahu
penyakitku ? Hanya itu yang selalu ada dipikiranku.
Suatu
hari Rangga mengajakku ke taman untuk jalan – jalan karena beberapa minggu ini
aku memang menghindar darinya. Saat menelponku ternyata dia sudah ada di depan
rumah. Dia menjemputku tepat jam 4 sore. Karena terdesak, aku tak dapat
mengatakan apa – apa. Aku hanya menuruti permintaanya. Kami berjalan – jalan
mengelilingi taman tanpa ada sepatah kata pun yang terdengar. Rangga mengajakku
duduk di tepi sungai di taman itu. Kami duduk dan Rangga membuka pembicaraan
“Kamu kenapa Sil? Akhir – akhir ini kamu seperti menghindar dariku? Apa salahku
Silla? katakan padaku” kata Rangga sambil berbalik ke arahku. “Aku ngak apa –
apa Rangga” kataku memandangnya. Rangga mengerutkan keningnya. Entah apa yang
dia perhatikan di wajahku. “Kamu sakit Sil?” sambil memegang dahiku. “Sakit?
ngak kok.” kataku. “Tapi kenapa wajahmu pucat?” katanya dengan rasa penasaran
“sudah ku bilang aku ngak apa – apa Rangga” kataku dengan nada yang agak
tinggi. Aku tak sanggup mengatakan itu padanya. Aku tak mau Rangga menjauhiku
setelah dia mengetahui penyakitku. “Aku mau bilang sesuatu Silla” kata Rangga
lagi. “Apa?” jawabku singkat. “Aku pernah mengatakan hal ini. Tapi tak sampai
karena kamu buru – buru. Sebenarnya aku takut mengatakannya,tapi harus ku
katakan agar kau tau. Aku menyayangimu Sil. Sangat
menyayangimu. maukah kamu menjalin hubungan denganku lebih dari seorang
sahabat?” Rangga mengatakan itu dengan nada memohon. Tak ku sangka dia
mengatakan itu padaku. Tak ku sangka dia mempunyai perasaan yang sama denganku.
Tak sempat ku jawab pertanyaan Rangga, tiba – tiba kepalaku terasa sangat
sakit. Rasanya semua yang berada didekatku berputar – putar. Aku terjatuh dari
bangku tempatku duduk bersama Rangga. Pikiranku melayang dan aku tak sadarkan
diri. Melihatku terkapar di rumput, Rangga langsung memangkuku dan berkata
“”Kamu kenapa Silla? kamu kaget dengan perkataanku tadi sampai kamu pingsan?”.
Karena aku tak menjawab, Rangga menepuk
– nepuk pipiku sambil memanggil – manggil namaku. Karena kaget Rangga langsung
membawaku ke Rumah Sakit. Kebetulan Rangga membawaku ke Rumah Sakit tempatku
selalu memeriksaan kondisiku setiap minggu. Rangga menelpon mamaku. Mama datang
ke Rumah Sakit tak lama setelah menutup telpon Rangga. Rangga menceritakan
kejadian di taman kepada Mama. Mama hanya terdiam mendengar cerita Rangga.
“Silla sakit tante?” tanya Rangga. Mama menceritakan penyakitku sambil menangis
tersedu – sedu di depan Rangga. Mendengar cerita Mama, mata Rangga berkaca –
kaca. Dia terdiam sambil memandang ke arah ruangan tempatku di rawat. Ruangan
yang begitu sangat tertutup dan hanya orang – orang tertentu yang bisa masuk.
Dokter keluar dari ruangan itu dan berbicara dengan Mama. Rangga tidak
mengetahui apa yang Mama dan Dokter bicarakan. Dia hanya terus memandang ke
arah ruangan tempatku di rawat. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang. Aku
tak tahu.
Mama
yang baru saja berbicara dgn Dokter mengajak Rangga masuk melihat keadaanku.
Wajahku pucat dan kepalaku dipenuhi alat – alat dokter yang Rangga dan Mama pun
tak tahu apa itu. “Silla sakit keras Rangga” kata Mama sambil menggenggam
tanganku. Rangga hanya tersenyum ke arah Mama dan kembali memandangku. Setelah
beberapa jam, aku pun sadar. Ku buka mataku perlahan. Ku lihat
disekelilingku.Yang ku temukan hanya sesosok lelaki yang sedang melamun di
samping tempat tidurku sambil menggenggam erat tanganku. Ya dia Rangga,
sahabatku. “Rangga”kataku pelan. Rangga yang mendengar suaraku memandangku
dengan mata yang berkaca – kaca “kamu sudah sadar Sil”. Aku hanya tersenyum.
“Mama mana Rangga?”. “Mamamu keluar ke Bank”jawab Rangga. “kenapa kamu tidak
pernah cerita penyakitmu padaku Silla? Salahkah jika aku tahu itu?”. “aku hanya
takut setelah kamu tahu kamu akan menghindariku Rangga. Aku tak ingin itu
terjadi”. “Kenapa kamu berpikir seperti itu Bi? Aku tak akan pernah melakukan
hal sejahat itu padamu”kata Rangga meyakinkanku. Aku hanya bisa memandangnya
sambil tersenyum karena aku tak tahu harus berkata apa.
1
minggu di Rumah Sakit aku merasa sangat tidak betah. Aku ingin pulang dan
kembali sekolah. Aku juga tak ingin selalu merepotkan Rangga yang setiap hari
menemaniku di Rumah Sakit. Karena tdk tega melihatku terkurung dalam ruangan
itu, mama menuruti permintaanku. Aku diantar pulang oleh Rangga karena Mama ada
meeting dengan rekan – rekan kerjanya. Rangga mengantarku sampai di rumah.
“Mampir dulu yu” ajakku kepada Rangga. “Ngak usah Sil. Aku ngak mau ganggu kamu
istirahat. Aku juga harus jemput Mama di salon. Cepet sembuh ya”. “Oh,iya. Maaf
udah ngerepotin kamu”. Rangga hanya trsenyum dan berlalu dengan mobil jazz merahnya.
Aku masuk ke dalam rumah di bantu Bibi, pembantuku yang paling setia.
Bibi
mengantarku sampai di pintu kamar . “Makasih Bi” kataku sambil tersenyum pada
Bibi. Aku masuk dan berbaring di atas tempat tidur yang empuk. Ku pejamkan
mataku dan ku ingat kalimat – kalimat yang diucapkan Rangga sore itu sambil
berkata dalam hatiku “Aku juga menyayangimu Rangga. Sangat menyayangimu. Tapi
mungkinkan aku bisa sembuh dan bisa hidup lama? Mungkinkan aku bisa hidup
bersamamu selamanya? Mungkinkah aku bisa mengatakan bahwa aku menyayangimu?
Mungkinkah aku masih bisa bertahan hingga besok? Mungkinkah aku masih bisa
bertemu denganmu? Mungkinkah kau tahu perasaanku yang sama denganmu”. Kalimat –
kalimat itu memenuhi kepalaku. Hingga kepalaku terasa sangat dan sangat sakit.
Aku mencoba berdiri, berteriak sambil menangis “Rangga!!” Kepalaku semakin
sakit. Penglihatanku buram bekunang – kunang dan tubuhku terhempas jatuh di
atas tempat tidur.
karya : RIADNIN MAHARJA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar