HINGGA AKHIR WAKTU




Aku termenung di balik jendela kaca kamarku. Membiarkan tetesan kristalnya mengembun memburamkan kaca. Pikiranku menerawang jauh menembus angan – angan. Dibalik kilau tetesan – tetesan bening itu menyimpan rindu yang nyata. Saat ku ingat lagi peristiwa mengerikan itu,
terasa air mata ini ingin jatuh. Ayu, dialah gadis yang dapat membuatku merasakan cinta yang sesungguhnya tapi juga dia yang membuatku sangat merasa kehilangan dan tak mampu mengukir indah cerita cinta yang indah lagi. Dia yang merebut jiwa dan seluruh cinta yang aku punya. Hanya dia dan segalanya hanya untuknya. Tidak akan pernah ku bagi untuk orang lain.
Pagi yang cerah itu, seperti biasanya aku menjemput Ayu, sahabatku sejak masuk SMA. Dia gadis yang baik, cantik, pintar, ramah, dan disukai banyak orang. Tak heran jika dia mempunyai banyak sahabat, termasuk aku. Aku menunggu di depan rumahnya, tak lama kemudian Ayu muncul dari balik pintu rumahnya. “Pagi Rangga, udah lama nunggu yah?” sapanya. “Hm Ngak. Baru 10 menit” jawabku. “Buruan yuk. Ntar telat” kata Ayu.
Di perjalanan menuju sekolah, kami berdua hanya diam saja. Diam seribu bahasa, seperti orang yang tidak saling mengenal. Entah mengapa hari ini aku tidak ingin berbicara banyak dengannya. Sampai di sekolah, kami berjalan d lorong – lorong kelas. Ada hal aneh yang terjadi di sekolah hari ini. “Kamu merasa ada hal yang aneh ngak, Yu” kataku membuka pembicaraan sesampainya di kelas. “Hal aneh apa?” jawabnya singkat sambil tersenyum. “Dari tadi semua orang senyum – senyum ngeliatin kita. Masa sih kamu ngak ngerasain itu” balasku menerengkan. “Mungkin hari ini hari senyum sedunia kalee” jawabnya sambil tertawa. Aku hanya terdiam mendengar jawabannya. Memikirkan mengapa hari ini semua orang tersenyum melihatku dan Ayu sejak masuk pekarangan sekolah. Padaha setiap hari mereka selalu melihatku bersama Ayu di mana pun, tapi mengapa hari ini aneh? Entahlah. Aku juga tidak ingin terlalu memikirkan itu.
“Woi romeo juliet” kata Roy tiba – tiba datang membuyarkan lamunanku. “Romeo dan Juliet, maksud kamu apa?” tanyaku. “Jadi sekarang kamu udah jadi kura – kura dalam perahu yah Rangga. Pura – pura tidak tahu. Kamu dan Ayu kan terpilih sebagai romeo dan juliet buat pentas drama minggu depan” jawab Roy. Aku tersentak kaget karena aku dan Ayu hanya main – main saat audisi drama itu. “Oh, pantesan ajah anak – anak hari ini aneh banget. Kayak kesambet setan doyan senyum” kataku pada Roy. Tiba – tiba Ayu menarik tangan ku dan berlari. Dengan sigap aku hanya mengikutinya dan kami berhenti di depan Mading. Di sana telah tertera nama – nama pemeran drama Romeo dan Juliet, termasuk namaku sebagai romeo dan Ayu sebagai juliet. Ayu hanya tersenyum. Ada sedikit kepuasan yang terlihat dari senyumnya itu. Kemudian dia mengajakku kembali ke kelas karena jam pelajaran akan segera dimulai. Ibu Marina masuk setelah pukul 07.40. Dia tersenyum ke arahku dan Ayu. Dia tidak bisa berlama – lama di kelas karena ada urusan penting. Ibu Marina masuk hanya ingin menyampaikan jadwal latihan untuk pentas drama Romeo dan Juliet itu yang hanya bisa dilaksanakan sepekan saja.
Sepulang sekolah, aku mengantar Ayu pulang. Sebelum masuk rumahnya, Ayu sempat berkata “Ntar sore bareng ke sekolah yah buat latihan”. Aku hanya mengangguk pelan dan berlalu.
Sore itu tepat pukul 15.45 aku menjempu Ayu di rumahnya. Dia tampak beda sore ini. Terlihat lebih cantik dari biasanya. “Cantik” spontan aku berkata saat Ayu berdiri di hadapanku. “Makasih” jawabnya singkat sambil menebar senyum indah, menambah aura kecantikannya. Begitu lah hari – hari ku bersama Ayu sepekan ini selama latihan drama di sekolah hingga pentas drama dilaksanakan. Hari terakhir latihan, aku berdiri memerankan romeo di atas panggung. Ayu berjalan mengitariku sambil berdialog. Tiba – tiba dia terkulai dan hampir jatuh dari atas panggung, tapi dengan sigap aku menangkap tubuhnya. Aku memandang jauh ke dalam matanya. Jantungku berdetak sangat kencang setiap aku dekat dengannya seperti sekarang ini. Aku berharap roda waktu berhenti berputar. “Rangga” Ibu Marina mengagetkanku. Aku melepaskan tubuh Ayu dan membantunya berdiri. Kakinya agak keseleo tapi dia masih bisa berjalan seperti biasanya. Aku tahu kakinya sakit tapi dia berusaha menutupinya karena tidak ingin Ibu Marina khawatir karena besok adalah hari dimana kami akan mementaskan drama ini. Itulah Ayu, gadis yang sangat bertanggung jawab dengan peranannya dalam hal apa pun.
Keesokan harinya, semua berjalan dengan baik. Kami mementaskan drama dengan hampr mencapai kesempurnaan. Kami semua bersorak gembira karena telah berhasil mementaskan drama itu dengan baik. Aku memandang Ayu yang sedang tertawa bersama teman – temannya yang lain. Ada rasa senang di hatiku melihatnya tertawa lepas seperti itu. Setelah pementasan, aku dan Ayu bergegas pulang karena cuaca sedang tidak bersahabat. Di luar sekolah awan hitam menyelimuti langit. Di tengah perjalanan hujan turun sangat deras. Aku dan Ayu berhenti di bawah pohon yang rindang untuk berteduh. Aku melihatnya sangat kedinginan. Sekujur tubuhnya pucat pasi. Aku membuka jaketku dan meminta Ayu untuk memakainya. “Pakailah ini, Yu. Kamu kelihatan dingin banget”. “Kamu gimana?” tanya Ayu. “Aku ngak apa – apa ” jawabku.
Setelah hujan berhenti turun, kami bergegas pulang. Aku mengendarai motorquw dengan kecepatan standar – standar saja karena jalanan basah dan licin. Ku dengar Ayu tertawa sambil bercerita tentang pementasan drama tadi. Karena keasyikan mendengar Ayu, aku tidak melihat lubang besar di hadapanku. Buukkk!! Aku merasakan diriku melayang dan jatuh terhempas di atas rerumputan. Kepalaku terasa sangat sakit karena terbentur di trotoar. Aku berusaha membuka mataku dan mencari sosok Ayu. Aku melihatnya di seberang jalan berlumuran darah. Yang terakhir ku ingat orang – orang datang mengerumuniku dan Ayu.
Saat ku buka mataku, aku melihat ruangan berwarna putih. Kepalaku masih terasa sangat sakit. Tulang – tulangku terasa remuk.  Di sisiku, ku lihat papa dan mama. “Kamu sudah sadar sayang” kata mama. “Aku di mana,Ma” tanyaku. “Kamu di rumah sakit, Nak. Kamu dan ayu kecelakaan” jawab Mama. “Ayu di mana Pa?” tanyaku mencari sosok gadis cantik itu di seluruh penjuru ruangan  itu, tapi aku tidak menemukannya. “Ayu di ruang ICU Rangga. Dia kehilangan banyak darah dan golongan darahnya sangat susah dicari karena stok darah di sini untuk golongan darah ayu kebetulan habis” jawab Papa. “Aku ingin melihanya Pa, Ma” kataku memohon untuk diantar ke ruangan tempat Ayu di rawat sekarang. Papa dan Mama mengantarku ke ruang ICU menggunakan kursi roda karena aku belum mampu berjalan. Sesampainya di ruang ICU, dokter berkata “waktunya tidak akan lama. Kami telah berusaha tapi dia kehilangan banyak sekali darah”. Saat aku berada di sisi tempat Ayu berbaring. Matanya tertutup. Ayu belum sadar semenjak kecelakaan itu. Tak terasa air mataku menetes melihat keadaanya yang sedang sekarat melawan kematian. Aku menggenggam tangannya erat – erat dan berkata “ayu maafkan aku. Semua ini salahku. maafkan aku yang membuatmu seperti sekarang ini, Yu. Sadarlah. Aku membutuhkanmu. Sangat membutuhkanmu”isak tangisku semakin menjadi – jadi. Aku merasakan jemari Ayu bergerak. Aku menghapus air mataku dan memandangnya “kamu sudah sadar Ayu?”. Perlahan matanya terbuka dan tersenyum saat memandangku. Aku berusaha bangkit dari kursi roda dan mengecup keningnya sambil berkata “Ayu aku menyayangimu. Sangat menyayangimu. Tahukah engkau bahwa perasaan ini telat lama tersimpan. Maafkan aku karena baru saat ini aku dapat mengungkapkannya. Aku takut kau menghindariku jika kau tahu perasaanku karena kita sudah bersahabat 2 setengah tahun. Aku tidak ingin menghancurkan persahabatan kita karena perasaanku. Tapi aku tidak memendamnya terlalu lama Ayu. Aku mencintaimu”. Ayu memandangku, tersenyum dan berkata “Aku juga mencintaimu Rangga”. Setelah itu matanya kembali tertutup. Terlihat garis lurus pada alat detakan jantungnya. Aku mengguncang tubuhnya dan beteriak “Ayu, Ayu sadarlah. Sadrlah Ayu. kau tidak boleh meninggalkanku seperti ini. Tidak inginkah kau hidup bersamaku? Melewati hari – hari indah bersamaku. Ayuuuuu..??? ” Tapi semua jeritan, teriakan itu tidak mengubah apa pun. Suster membuka smua alat yang terpasang di tubuh Ayu. “Sabarlah Rangga” kata Papa, Mama, dan Dokter. Aku hanya mampu menangis dan berusaha merelakan kepergiiannya. Merelakan seseorang yang sangat ku sayangi. Merelakannya pergi dari hidupku untuk selamanya.
Setahun kemudian. Aku telah menjadi seorang mahasiswa Universitas Indonesia jurusan kedokteran. Aku ingin menjadi dokter yang akan menyembuhkan segala penyakit. 1 hal yang tidak pernah hilang dalam hidupku, yaitu Ayu. Aku tidak pernah berusaha dan bisa melupakan sosok Ayu. Setiap hari wajahnya selalu terbayang. Dia selalu hadir di mimpi – mimpiku.
Aku berjanji akan menjadi seseorang yang patut ia banggakan dan patut untuk dia cintai. Dia tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun. Itu janjiku !
Setiap hari aku belajar keras agar menjadi lulusan terbaik nantinya. Ayu, dia menjadi motivasiku untuk menjadi seseorang yang berhasil kelak.
4 tahun kemudian, aku telah menyelesaikan kuliahku dengan menjadi lulusan terbaik jurusan kedokteran. Aku berteriak di tengah lapangan “Ayu aku berhasil. Aku berhasil !”. Tapi aku sadar Ayu tidak di sini. Dia tidak di sini tersenyum padaku. Dia tidak di sini untuk memberiku ucapan selamat. Tetapi itu semua tidak membuatku putus asa. Aku tau Ayu tersenyum di sana, di dunia lain.
Aku ditempatkan di rumah sakit terbaik di Indonesia. Aku menjadi dokter terbaik rumah sakit itu. hari – hari ku lalui hanya di depan laptop, memeriksa pasien, lembur, bertemu dengan anak – anak di rumah sakit, hingga aku hampir melupakan Ayu. Hari ini aku berniat untuk berziarah ke makamnya. Aku membuka jas putihku dan meraih kunci mobil di mejaku. Ku sempatkan singgah membeli bunga melati putih kesukaan Ayu. Sampai di makam Ayu aku membersihkan dedaunan yang mengotori makam Ayu. Aku menaruh bunga melati putih itu di atas dekat batu nisannya. Tidak terasa air mataku mengalir membasahi pipi. Aku segera beranjak dari makam itu dan kembali ke rumah sakit.
Suatu hari ada seorang pasien yang masuk ruang ICU. Perawat memanggilku untuk menanganinya. Perempuan tu kecelakaan bersama pacarnya. Aku teringat kejadian yang menimpku bersama Ayu dulu. Aku hampir menangis tapi ku tahan karena aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang lain. Aku segera menangani perempuan itu. Aku ingin menyelamatkannya. Aku tidak ingin nasibnya seperti Ayu. Ku kerahkan segala apa yang ku bisa untuk menyelamatkannya. Hampir dua jam aku menangani perempuan itu. Aku berhasil menyelamatkan nyawanya. Aku bersyukur dan berterima kasih kepada Allah SWT, aku bisa menyelamatkan orang lain.
Seminggu kemudian, aku memperbolehkannya pulang. Perempuan itu berterima kasih kepadaku, keluarga, dan pacarnya juga. Aku tersenyum kepadanya. Dia terlihat sangat sehat. Terlihat sangat bahagia bersama pacarnya. Aku memperhatikan mereka berjalan melewati lorong rumah sakit. Dalam hatiku berkata “Seandainya dulu nyawamu juga bisa diselamatkan Ayu, kita akan berjalan seceria mereka. Bahagia seperti mereka. Tapi itu hanya tinggal kenangan tapi aku akan tetap mencintaimu sampai kapanpun. Hingga akhir waktuku, aku akan selalu dan tetap mencintaimu Ayu”.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar